Salah satu hal yang sering dipergunjingkan tentang tragedi G 30/S/PKI adalah mengenai siapa dalang dari peristiwa tersebut. Banyak pendapat yang muncul atas pertanyaan tersebut. Setelah lengsernya Soeharto, banyak pihak menyatakan bahwa sebenarnya Soeharto lah dalang dari peristiwa tersebut.Namun tak akan ada asap bila tak ada api. Soeharto tidak akan dituding sebagai dalang G/30/S/PKI apabila tidak ada fakta-fakta yang mendukung pendapat tersebut.
Cerita yang beredar tentang tragedi G/30/S/PKI versi Soeharto menerangkan bahwa pada malam tanggal 30 September pukul 21.00 Soeharto beserta istrinya, berada di Rumah Sakit Gatot Subroto untuk menengok anak bungsunya, Tomy Soeharto yang tersiram air panas. Kira-kira pukul 22.00 Soeharto sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal dimana Tomy dirawat. .Pada pukul 00.15 Soeharto meninggalkan rumah sakit. Kira-kira pukul setengah lima pagi tanggal 1 Oktober, ia kedatangan seorang kameraman TVRI bernama Hamid. Hamid memberi tahu bahwa ia mendengar suara tembakan di beberapa tempat. Tetangga nya juga mengabarkan mendengar suara tembakan bertubi-tubi. Kemudian datang Broto Kusmardjo dan melaporkan kabar yang ia akui cukup mengagetkan yaitu mengenai penculikan beberapa Pati Angkatan Darat. Pukul enam pagi Letkol Sadjiman datang atas perintah Umar Wirahadikusumah. Ia melaporkan bahwa di sekitar Monas dan Istana banyak pasukan yang tidaj dikenalnya. Soeharto pun langsung bertolak menuju Markas Kostrad. Saat ia melewati Monas, ia mengaku melihat sendiri prajurit-prajurit yang berjaga di sekitar Monas. Di gedung Kostrad ia mendapat Laporan bahwa Bung Karno tidak jadi ke istana, tetapi langsung menuju Halim.
Pukul 07.00, Soeharto mendengarkan siaran RRI yang menyiarkan Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untun. Pada saat itu ia mengau kaget dan lansung teringat bahwa Letkol Untung adalah orang yang dekat dan sering melakukan rapat dengan PKI. Bahkan menurutnya Letkol Untung pernah menjadi didikan tokoh PKI, Alimin.
Pada saat itu Soeharto langsung mengambil tindakan pertama yaitu menyelamatkan batalyon yang dilibatkan dalam petualangan oleh Letkol Untung. Pada saat itu Letkol Alo Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar melapor pada Soeharto bahwa Danyon 454 dan Danyon 530 tidak ada di tempat. Kemudian ia memerintahkan Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin untuk menyuruh Wadanyon 454 dan 530 menghadap padanya. Setelah Wadanyon-wadanyon tersebut datang, Soeharto menanyai apa tugas mereka. Nyaris serempak mereka menjawab mereka bertugas mengamankan presiden karena akan ada kup dari Dewan Jenderal. Soeharto sedikit kaget mendengar kata ’kup Dewan Jenderal’. Kemudian ia memberikan keterangan pada Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin bahwa pada saat itu Presiden Soekarno tidak berada di istana. Selain itu ia menegaskan bahwa tidak ada Dewan Jenderal. Yang ada adalah Wanjakti dan tidak mungkin ada rencana kup karena ia sendiri adalah anggota Wanjakti. Ia yakin gerakan Letkol Untung didalangi oleh PKI. Ia menganggap hal ini sebagai sebuah pemberontakan. Maka ia memutuskan untuk menghadapinya. Kemudian ia memerintahkan kedua Wadanyon untuk menyampaikan sarannya kepada seluruh anggota kesatuan mereka serta kepada komandan batalyon mereka. Dengan demikian Soeharto telah melucuti kekuatan Untung secara halus.
Pukul 09.15 ia mengadakan rapat staff. Dalam rapat itu ia memberikan penjelasan mengenai situasi dan siaran RRI pukul tujuh pagi itu. Ia menegaskan bahwa ia mengenal benar Letkol Untung. Ia menjelaskan pikirannya mengenai pernyataan Letkol Untung bahwa gerakannya seolah-olah hanya untuk menghadapi apa yang dikatakan Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup sehingga mereka mendahului bertindak dengan menculik para pimpinan Angkatan Darat. Menurutnya hal ini bukan sekedar gerakan untuk menghadapi apa yang dinamakan Dewan Jenderal saja, melainkan lebih jauh untuk merebut kekuasaan negara secara paksa. Soeharto juga mengungkapkan pada para asistennya bahwa sebagai prajurit Sapta Marga seharusnya tidak hanya sekedar mencari keadilan tetapi juga seharusnya merasa terpanggil untuk menghadapi masalah ini karena yang terancam adalah negara dan Pancasila. Di akhir keterangannya ia memutuskan untuk melawannya. Ia berpendapat bahwa apabila tidak melawan ataupun menghadapinya, toh mereka akan mati konyol. Jadi akan lebih baik apabila mereka mati membela negara dan Pancasila.
Setelah Maghrib satuan RPKAD berangkat menyerang RRI dan TELKOM dipimpin Kapten RPKAD Heru dan Kapten Urip. Sementara Kolonel Sarwo Edhie menunggu di halaman Kostrad. Pasukan tersebut memasuki RRI dan gedung pusat TELKOM tanpa perlawanan. Menurut perkiraannya Anak buah Letkol Untung telah melarikan diri. Setengah jam kemudian Kolonel Sarwo Edhie menerima laporan radio bahwa RRI sepenuhnya telah dikuasai. Gedung TELKOM waktu itu dijaga ileh Pemuda Rakyat yang mengira bahwa pasukan yang datang adalah rekannya sesama pemberontak sehingga dengan mudah Pemuda Rakyat itu dapat dilucuti senjatanya.
Soeharto merasa cukup lega karena tidak sebutir peluru pun dilepaskan. Lalu Brigjen Ibnu Subroto dengan beberapa orang menuju RRI dengan membawa rekaman pidato Soeharto . Pidato tersebut berisi tentang penjelasan peristiwa G/30/S dan himbauan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan waspada. Lewat pidato itu pula ia menjelaskan bahwa ia adalah Pimpinan Sementara Angkatan Darat. Pada pukul tujuh tepat siaran pidato tersebut dikumandangkan.
Selain itu, pada masa orde baru beredar pula film tentang pengkhianatan PKI yang disutradarai Arifin C. Noer. Dalam film tersebut hal yang paling ditonjolkan adalah adegan penyiksaan terhadap enam Jenderal. Dalam durasi yang cukup lama penonton disuguhi dengan adegan menyilet, menyudut, dan mencungkil mata pahlawan revolusi. Penyiksaan dilakukan sambil menari-nari dan menyanyi.
Kabarnya film tersebut memang dibuat dari satu sudut pandang. Pada saat itu, tim periset film melakukan wawancara kepada Soeharto yang kala itu adalah Presiden RI, selama berbulan-bulan. Adegan penyiksaan yang ada dalam film tersebut pun dibuat sesuai dengan hasil wawancara dan koran-koran pemerintah saat itu.
***
Pasca tergulingnya orde baru, mulai bermunculan pendapat-pendapat dan kesaksian tentang tragedi G/30/S/PKI yang menyudutkan Soeharto. Pada akhrinya, beberapa orang menyimpulkan Soeharto adalah dalang dari tragedi tersebut. Salah satu hal yang peling mendukung pendapat ahwa Soeharto lah dalang dibalik peristiwa tersebut adalah kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam cerita tentang tragedi G/30/S/PKI menueut Soeharto (versi Orba) .
***
Pada tanggal 21 September 1965, Kapten Soekarbi mengaku menerima radiogram dari Soeharto yang isinya perintah agar Yon 530 dipersiapkan dalam rangka HUT ABRI ke-20 pada tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan perlengkapan tempur garis pertama. Setelah persiapan, pasukan diberangkatkan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 25,26, dan 27 September.
Pada tanggal 28 September pasukan diakomodasikan di kebun Jeruk bersama dengan Yon 454 dan Yon 328. Tanggal 30 September seluruh pasukan melakukan latihan upacara. Pukul tujuh malam semua Dan Ton dikumpulkan untuk mendapatkan briefing dari Dan Yon 530, Mayor Bambang Soepono. Dalam briefing tersebut disebutkan bahwa Ibu kota Jakarta dalam keadaan gawat. Ada kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan RI yang sah. Briefing berakhir pada pukul 00.00. Pukul dua pagi tanggal 1 Oktober, Kapten Soekarbi memimpin sisa Yon 530 menuju Monas. Di kompleks Monas mereka berkedudukan di depan istana. Pada saat itu, karena kedudukan mereka dekat Makostrad, pasukan pun sering keluar masuk Makostrad untuk ke kamar kecil. Karena tidak ada teguran dari Kostrad, berarti Kostrad tahu bahwa mereka ada di sana.
Pukul setengah delapan Kapten Soekarbi melapor pada Soeharto tentang keadaan ibu kota yang gawat serta adanya isu Dewan Jenderal. Namun Soeharto menyangkal berita tersebut.
Kapten Soekarbi sendiri mengaku tidak mengetahui terjadinya penculikan para Jenderal. Ia tetap merasa aman karena Pangkostrad Soeharto telah menjamin keadaan tersebut. Namun ia berpendapat bahwa Soeharto pasti lah tahu tragedi penculikan para Jenderal tersebut. Karena pada tanggal 25 September Kolonel Latief telah memberikan masukan tentang keadaan yang cukup genting tersebut kepada Soeharto. Jadi sebenarnya mustahil apabila Soeharto tidak mengetahui tragedi tersebut.
Yang patut dipertanyakan lagi adalah mengapa Soeharto tidak melakukan pencegahan terjadinya tragedi tersebut. Kebiasaan dalam militer, apabila ada gerakan yang disinyalir akan membunuh atasan akan langsung dicegah. Namun kenyataanya Soeharto tidak sedikit pun mengambil sikap. Padahal apabila ditelusur ia sangat mampu mencegah kejadian tersebut. Pada saat itu, mereka sedang mempersiapkan HUT ABRI. Kostradlah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan acara tersebut. Jadi semua pasukan di Jakarta berada di bawah kendali Kostrad. Seharusnya Soeharto bisa memerintahkan pasukan untuk mencegahnya.
Dalam cerita versi Soeharto dan Orde Baru disebutkan terdapat pasukan liar di sekitar Monas. Kesaksian Kapten Soekarbi juga mematahkan pernyataan tersebut. Soeharto sendiri yang mengirimkan radiogram pada Kapten Soekarbi untuk mendatangkan pasukannya ke Jakarta. Tentunya ia mengenali pasukan siapa yang berada di Monas kala itu. Kostrad pun mengetahui kehadiran Yon 530. Namun pada kenyataannya Soeharto membiarkan pernyataan yang mengatakan bahwa terdapat pasukan liar pada saat itu.
***
Kejanggalan lain tampak dalam beberapa pengakuan Soeharto adalah pengakuan dan perkiraannya tentang kedatangan Kolonel Latief saat menjengu anaknya, Tomy Soeharto di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dalam versinya ia hanya mengaku hanya melihat Kolonel Latief di zaal dimana anaknya dirawat. Namun kejadian yang sebenarnya adalah mereka sempat berbincang-bincang. Pada saat itu Kolonel Latief melaporkan bahwa besok pagi akan ada tujuh jenderal yang akan dihadapkan pada presiden. Namun pada saat itu Soeharto tidak bereaksi. Ia hanya menanyakan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Tapi dari hasil wawancara Soeharto dengan seorang wartawan Amerika, ia mengatakan”.......Kini menjadi jelas bagi saya, bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukan untuk menengok anak saya, melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Rpanya ia hendak membuktikan kebenaran berita , sekitar sakitnya anak saya, ......”.Sedangkan dalam majalah Del Spiegel (Jerman Barat) Soeharto berkata.”Kira-kira jam 11 malam itu, Kolonel Latief dan komplotannya datang ke Rumah Sakit untuk membunuh saya, tetapi tampaknya ia tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di tempat umum.” Dengan demikian ada tiga versi yang dikeluarkan oleh Soeharto sendiri tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief. Hal ini sangat lah memancing kecurigaan bahwa Soeharti hanyalah mencari alibi untuk menghindari tanggung jawabnya.
***
Penyajian adegan penyiksaan ke enam jenderal dalam film G/30/S/PKI ternyata juga dapat digolongkan sebagai salah satu kejanggalan cerita versi Soeharto. Serka Bungkus adalah anggota Resimen Cakrabirawa. Pada saat itu ia mendapat tugas ”menjemput” M.T Haryono. Ia turut menyaksikan pula penembakan keenam Jenderal di Lubang Buaya. Ia menyatakan bahwa proses pembunuhan keenam Jenderal tidak melalui proses penyiksaan seperti pada film G/30/S/PKI. Satu per satu Jenderal dibawa kemudian duduk di pinggir lubang setelah itu ditembak dan akhirnya masuk ke dalam Lubang. Serka Bungkus mengetahui adanya visum dari dokter yang menyatakan tidak ada tindak penganiayaan. Namun sepengetahuannya Soeharto melarang mengumumkan hal itu.
Selain itu salah satu dokter yang melakukan visum, Prof. Dr. Arif Budianto juga menyatakan bahwa tidak ada pelecehan seksual dan pencongkelan mata seperti yang ditayangkan dalam film. Memang pada saat dilakukan visum ada mayat dengan kondisi bola matanya ’copot’. Tapi hal itu terjadi karena sudah lebih dari tiga hari terendam bukan karena dicongkel paksa. Karena di sekitar tulang mata pun tidak ada bagian yang tergores.
Tentu kita tidak dapat menduga-duga apa tujuan dan motif Soeharto menyembunyikan hasil visum. Dalam hal ini ia terkesan ingin memperparah citra PKI agar dugaan bahwa PKI lah yang ada di belakang tragedi ini semakin kuat. Kebencian masyarakat pada PKI pun akan memuncak dengan melihatnya.
***
Satu hal yang paling menjadi kontroversi dari tragedi tersebut adalah banyaknya orang-orang yang dituduh mendukung PKI dan pada akhirnya dijebloskan ke penjara. Antara lain adalah Kolonel Latief, Letkol Heru Atmodjo, Kapten Soekarbi, Laksda Omar Dani, Mayjen Mursyid, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka ditahan tanpa melalui proses peradilan. Orang- orang tersebut kebanyakan mengetahui bagaiman sebenarnya hal itu terjadi. Seperti contohnya Kapten Soekarbi. Ia ditahan setelaha membuat laporan tentang kejadian yang ia alami pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965. Penahanan tanpa proses peradilan ini dapat disinyalir sebagai sebuah upaya yang dilakukan Soeharto agar saksi-saksi kunci tidak dapat menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada khalayak. Ketakutan yang dialami Soeharto ini tentunya justru semakin memperkuat anggapan bahwa dialah dalang di balik peristiwa G/30/S/PKI.